Penegak Hukum dan lembaga Peradilan Hendaknya Berkoordinasi untuk Akomodasi Hukum Adat

15-09-2021 / KOMISI III
Anggota Komisi III DPR I Wayan Sudirta saat acara Forum Legislasi, yang bertajuk 'Overkapasitas Lapas, RUU Pemasyarakatan Dibutuhkan' di ruang Media Center DPR RI, Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Selasa (14/9/2021). Foto: Geraldi/Man

 

Anggota Komisi III DPR I Wayan Sudirta menjelaskan, Indonesia sudah saatnya menerapkan sistem peradilan restoratif berupa hukum adat yang berlandaskan asas manfaat. Karena sistem itu tidak menimbulkan tunggakan peradilan selain membuat penjara tidak mejadi alat utama untuk menjatuhkan hukuman.

 

Menurut Wayan, asas manfaat pada peradilan restortif sudah pernah digagas di masa lalu. Akan tetapi hingga kini belum terwujud karena sitem peradilan di Indonesi masih didominasi oleh hukum negara barat terutama Belanda. Untuk itu, Wayan meminta semua penegak hukum berkoordinasi untuk membuat terobosan guna mengakomodasi hukum adat.

 

“Jangan katakan hukum Belanda jelek, tapi tak berani menyebut hukum adat luar biasa,” tandas Wayan Sudirta saat acara Forum Legislasi, yang bertajuk 'Overkapasitas Lapas, RUU Pemasyarakatan Dibutuhkan' di ruang Media Center DPR RI, Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Selasa (14/9/2021).

 

Diskusi teresebut menghadirkan Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir, Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, dan Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar sebagai narasumber.

 

Lebih jauh Wayan menjelaskan, hukum maupun peradilan adat lebih memiliki aspek mamfaat ekonomi seperti adanya hukuman denda dan kerja sosial. Di sejumlah negara barat, sanksi sosial maupun denda yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan pidana bisa dimamfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. “Denda dari pelaku tindakan pidana telah membuat perekonomian negara terbantu karena produktivitas pelaku kejahatan tetap terjaga,” katanya.

 

Wakil rakyat dapil Bali ini mengungkapkan, tidak ada hukuman yang diputuskan hakim adat yang diprotes karena menimbulkan kenyamanan masyarakat. Dengan demikian juga tidak akan ada penjara yang kelebihan muatan atau over kapasitas seperti kejadian yang lazim di Indonesia saat ini.

 

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir sepakat untuk penyederhanaan sistem peradilan. Adies beranggapan, kejahatan ringan yang dilakukan oleh masyarakat cukup diputuskan tingkat penegak hukum paling bawah.

 

Dengan demikian, tidak perlu banding atau gugatan yang bertele-tele sehinga menghabiskan uang dan waktu. “Tujuannya agar tida ada tunggakan pengadilan karena ada batas waktu untuk satu kasus dan tidak perlu pelaku kejahatan ringan masuk penjara,” pungkasnya. (eko/es)

BERITA TERKAIT
Aparat Diminta Tindak Tegas Pelaku TPPO Anak yang Dieksploitasi Jadi LC
20-08-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Komisi III DPR RI, Gilang Dhielafararez merasa prihatin sekaligus geram menanggapi kasus eksploitasi seksual dan tindak...
Komisi III Minta KPK Perjelas Definisi OTT dalam Penindakan
20-08-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menekankan pentingnya kejelasan terminologi hukum yang digunakan Komisi Pemberantasan...
Martin Tumbelaka: KPK Harus Independen, Dorong Pencegahan dan Penindakan Korupsi
20-08-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI, Martin Tumbelaka menegaskan pentingnya menjaga independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekaligus mendorong...
Rano Alfath Dorong Penguatan Kejaksaan untuk Pemulihan Aset Negara
20-08-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Rano Alfath menuturkan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan pencucian...